Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
KURBAN yang juga disebut udhhiyah atau dhahiyyah yang bentuk jamaknya al-adhaahi secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sedangkan ibadah kurban adalah satu ibadah pemeluk agama Islam dimana dilakukan penyembelihan binatang ternak (unta, lembu, kerbau, domba) untuk dipersembahkan kepada Allah Swt. Ibadah kurban dilakukan pada 10 Zulhijjah (hari nahar), 11, 12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adhha, sebagaimana firman Allah Swt: “Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan (berqurbanlah).” (QS. Al-Kautsar: 2).
Dalam sejarah dunia paling kurang ada tiga kisah berkenaan dengan kurban, sejak Nabi Adam as bersama keluarganya menghuni bumi raya ini. Kisah kurban pertama terjadi kepada dua orang putera Adam; Qabil dan Habil, keduanya diperintahkan Allah untuk berkurban harta yang disayanginya dari hasil usahanya. Karena Qabil berprofesi sebagai petani maka ia diperintahkan mengorbankan hasil pertaniannya, sementara Habil yang berprofesi pengembala diperintahkan Allah untuk mengorbankan hasil gembalaannya. Ketika keduanya melakukan pengorbanan tersebut, ternyata Allah menerima qurban Habil dan tidak menerima qurban Qabil. Ternyata Qabil marah dan membunuh saudara kandungnya Habil hingga tewas (lihat QS. Al-Maidah: 27-30).
Sejarah kurban kedua adalah mimpi Nabi Ibrahim terhadap puteranya Ismail dalam bentuk penyembelihan, lalu beliau bertanya pendapat anaknya, dan anaknya membenarkan isi mimpi ayahnya, lalu terjadilah penyembelihan qurban dari seorang ayah (Ibrahim) terhadap anaknya (Ismail). Kisah tersebut tertera dalam Alquran surah Ash-Shaffat; 102.
Satu lagi kisah qurban tempo dulu adalah ketika Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad saw) berupaya menggali kembali sumur zamzam yang sudah tertimbun tanah dan tidak diketahui lagi sumber mata airnya. Ketika itu Abdul Muthalib berdoa kepada Allah Swt; memohon mendapatkan kemudahan dalam menggali sumur zamzam dan mendapatkan sumber airnya dengan janji akan mengqurbankan salah seorang anaknya. Ketika sumur zamzam ditemukan kembali, Abdul Muthalib mengundi terhadap anaknya yang mau dikurbankan. Hasil undian beberapa kali selalu terpilih Abdullah ayahnya Nabi Muhammad saw yang harus dikurbankan. Namun, kurban ini kemudian diganti dengan 100 ekor unta, sehingga Abdullah pun selamat dan tidak jadi dikurbankan.
Rujukan utama
Dari tiga kisah kurban di atas tadi hanya satu yang menjadi modal dan rujukan utama kurban bagi umat Islam sedunia sepanjang masa, yang satu itu adalah qurbannya Nabi Ibrahim terhadap puteranya Ismail AS. Allah Swt berfirman: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata kepada anaknya Ismail: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Dari kisah Ibrahim dan Ismail inilah Rasulullah Saw menganjurkan kepada seluruh muslim-muslimah untuk melaksanakan kurban pada hari raya Idul Adha mulai dari 10 sampai tenggelam mata hari 13 Zulhijjah, berqurban pada 10 Zulhijjah lebih afdhal amalannya. Dua amalan besar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang ditabalkan dan dilestarikan dalam Islam pada bulan Zulhijjah adalah; menunaikan ibadah haji yang hukumnya wajib bagi umat Islam dan kurban yang hukumnya sunat muakkad.
Dalam satu hadis disebutkan; Aisyah ra menceritakan bahwa Nabi saw bersabda: “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (kurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih).
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan kurban pada hari Idul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai harga hewan kurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan kurban. Karena maksud terpenting dalam berkurban adalah mendekatkan diri kepada Allah, menampakkan syiar Islam dan harus jauh dari nilai-nilai riya.
Berbeda pandangan para ulama tentang hukum kurban, Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu saja. Mereka berpegang kepada hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (kuat). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan: “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira kurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Firman Allah: “Dan tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS. Al Hajj: 34). Binatang yang dibenarkan kurban terdiri dari unta untuk 1 atau 10 orang, lembu/kerbau untuk 1 atau 7 orang, dan kambing untuk seorang yang berkurban.
Kebiasaan di Aceh
Sementara itu, di Aceh terhitung sangat lumayan agresif animo kurban yang dilakukan muslim muslimah khususnya di perkotaan. Namun yang menjadi sedikit persoalan adalah berkenaan dengan hakikat qurban yang dianjurkan Rasulullah Saw bahwa ia diperuntukkan utama sekali kepada fakir miskin dan daging kurban itu hanya untuk dimakan selama tiga hari. Sementara di Banda Aceh dan kota-kota besar lainnya sering menyembelih kurban dalam kapasitas raksasa puluhan malah ada yang ratusan ekor, semua dagingnya dibagikan kepada penduduk kota yang tidak fakir, tidak miskin dan sering makan daging.
Kondisi seumpama ini agak melenceng dari kehendak Rasulullah saw yang mengutamakan daging kurban kepada fakir miskin hanya untuk dikonsumsi tiga hari makan, bukan untuk disimpan penuh kulkas untuk tiga bulan makan. Sebetulnya penduduk kota terutama kota Banda Aceh harus sepakat mengumpulkan hewan kurban sebanyak-banyaknya untuk dikurbankan kepada muslim pedalaman di berbagai kawasan di pelosok Aceh yang terkadang sudah lima tahun mereka tidak pernah makan daging kurban, atau tidak pernah tau apa itu kurban, apalagi kalau bisa didistribusikan kepada kaum muallaf di perbatasan Aceh Sumut jauh lebih bermakna agar mereka terikat hatinya dengan Islam dan saudaranya yang muslim.
*Hasanuddin Yusuf Adan, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, dan Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: diadanna@yahoo.com
Sumber: Serambi
KURBAN yang juga disebut udhhiyah atau dhahiyyah yang bentuk jamaknya al-adhaahi secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sedangkan ibadah kurban adalah satu ibadah pemeluk agama Islam dimana dilakukan penyembelihan binatang ternak (unta, lembu, kerbau, domba) untuk dipersembahkan kepada Allah Swt. Ibadah kurban dilakukan pada 10 Zulhijjah (hari nahar), 11, 12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adhha, sebagaimana firman Allah Swt: “Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan (berqurbanlah).” (QS. Al-Kautsar: 2).
Dalam sejarah dunia paling kurang ada tiga kisah berkenaan dengan kurban, sejak Nabi Adam as bersama keluarganya menghuni bumi raya ini. Kisah kurban pertama terjadi kepada dua orang putera Adam; Qabil dan Habil, keduanya diperintahkan Allah untuk berkurban harta yang disayanginya dari hasil usahanya. Karena Qabil berprofesi sebagai petani maka ia diperintahkan mengorbankan hasil pertaniannya, sementara Habil yang berprofesi pengembala diperintahkan Allah untuk mengorbankan hasil gembalaannya. Ketika keduanya melakukan pengorbanan tersebut, ternyata Allah menerima qurban Habil dan tidak menerima qurban Qabil. Ternyata Qabil marah dan membunuh saudara kandungnya Habil hingga tewas (lihat QS. Al-Maidah: 27-30).
Sejarah kurban kedua adalah mimpi Nabi Ibrahim terhadap puteranya Ismail dalam bentuk penyembelihan, lalu beliau bertanya pendapat anaknya, dan anaknya membenarkan isi mimpi ayahnya, lalu terjadilah penyembelihan qurban dari seorang ayah (Ibrahim) terhadap anaknya (Ismail). Kisah tersebut tertera dalam Alquran surah Ash-Shaffat; 102.
Satu lagi kisah qurban tempo dulu adalah ketika Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad saw) berupaya menggali kembali sumur zamzam yang sudah tertimbun tanah dan tidak diketahui lagi sumber mata airnya. Ketika itu Abdul Muthalib berdoa kepada Allah Swt; memohon mendapatkan kemudahan dalam menggali sumur zamzam dan mendapatkan sumber airnya dengan janji akan mengqurbankan salah seorang anaknya. Ketika sumur zamzam ditemukan kembali, Abdul Muthalib mengundi terhadap anaknya yang mau dikurbankan. Hasil undian beberapa kali selalu terpilih Abdullah ayahnya Nabi Muhammad saw yang harus dikurbankan. Namun, kurban ini kemudian diganti dengan 100 ekor unta, sehingga Abdullah pun selamat dan tidak jadi dikurbankan.
Rujukan utama
Dari tiga kisah kurban di atas tadi hanya satu yang menjadi modal dan rujukan utama kurban bagi umat Islam sedunia sepanjang masa, yang satu itu adalah qurbannya Nabi Ibrahim terhadap puteranya Ismail AS. Allah Swt berfirman: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata kepada anaknya Ismail: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Dari kisah Ibrahim dan Ismail inilah Rasulullah Saw menganjurkan kepada seluruh muslim-muslimah untuk melaksanakan kurban pada hari raya Idul Adha mulai dari 10 sampai tenggelam mata hari 13 Zulhijjah, berqurban pada 10 Zulhijjah lebih afdhal amalannya. Dua amalan besar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang ditabalkan dan dilestarikan dalam Islam pada bulan Zulhijjah adalah; menunaikan ibadah haji yang hukumnya wajib bagi umat Islam dan kurban yang hukumnya sunat muakkad.
Dalam satu hadis disebutkan; Aisyah ra menceritakan bahwa Nabi saw bersabda: “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (kurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih).
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan kurban pada hari Idul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai harga hewan kurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan kurban. Karena maksud terpenting dalam berkurban adalah mendekatkan diri kepada Allah, menampakkan syiar Islam dan harus jauh dari nilai-nilai riya.
Berbeda pandangan para ulama tentang hukum kurban, Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu saja. Mereka berpegang kepada hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (kuat). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan: “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira kurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Firman Allah: “Dan tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS. Al Hajj: 34). Binatang yang dibenarkan kurban terdiri dari unta untuk 1 atau 10 orang, lembu/kerbau untuk 1 atau 7 orang, dan kambing untuk seorang yang berkurban.
Kebiasaan di Aceh
Sementara itu, di Aceh terhitung sangat lumayan agresif animo kurban yang dilakukan muslim muslimah khususnya di perkotaan. Namun yang menjadi sedikit persoalan adalah berkenaan dengan hakikat qurban yang dianjurkan Rasulullah Saw bahwa ia diperuntukkan utama sekali kepada fakir miskin dan daging kurban itu hanya untuk dimakan selama tiga hari. Sementara di Banda Aceh dan kota-kota besar lainnya sering menyembelih kurban dalam kapasitas raksasa puluhan malah ada yang ratusan ekor, semua dagingnya dibagikan kepada penduduk kota yang tidak fakir, tidak miskin dan sering makan daging.
Kondisi seumpama ini agak melenceng dari kehendak Rasulullah saw yang mengutamakan daging kurban kepada fakir miskin hanya untuk dikonsumsi tiga hari makan, bukan untuk disimpan penuh kulkas untuk tiga bulan makan. Sebetulnya penduduk kota terutama kota Banda Aceh harus sepakat mengumpulkan hewan kurban sebanyak-banyaknya untuk dikurbankan kepada muslim pedalaman di berbagai kawasan di pelosok Aceh yang terkadang sudah lima tahun mereka tidak pernah makan daging kurban, atau tidak pernah tau apa itu kurban, apalagi kalau bisa didistribusikan kepada kaum muallaf di perbatasan Aceh Sumut jauh lebih bermakna agar mereka terikat hatinya dengan Islam dan saudaranya yang muslim.
*Hasanuddin Yusuf Adan, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, dan Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: diadanna@yahoo.com
Sumber: Serambi
Sejarah Kurban dan Kebiasaan di Aceh
Reviewed by Sumadi Arsyah
on
20:01
Rating: