Sepenggal Cerita JK tentang Damai Aceh



"Sebenarnya perdamaian Aceh sudah lama saya upayakan sekitar 2-3 tahun sebelum perjanjian Helsinky ditandangani". Upaya penyelesaian damai Aceh terus dilanjutkan dilanjutkan penanganannya setelah dilantik menjadi Wakil Presiden RI. 

Akhirnya, kesepakatan perdamaian untuk di Aceh antara Pemerintah dan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

Inilah sepenggal cerita perjalanan Yusuf Kalla (JK) dalam merintis proses perdamai Aceh, disadur dari Pidato Pak JK saat berkunjung ke Aceh. 

Tahun 2009, sekitar pukul 21.00 WIB saya beserta rombongan mendarat di Bandara Iskandar Muda Aceh. Ini pertama kalinya saya datang ke Aceh pada malam hari. Biasanya saya selalu datang pada siang hari. 

Saya masih ingat waktu Aceh sedang kacau-kacaunya apabila kita berkunjung ke sana, maka dalam berkonvoi kita akan dikawal oleh panser dari segala sisi. Namun sekarang tidak lagi. Di sepanjang jalan saya melihat orang dengan santainya mengobrol di warung kopi, toko-toko masih buka.

Ini berbeda sewaktu Aceh belum damai, ketika saya Menteri ada salah seorang pejabat yang mengeluh kepada saya, dia bilang “Pak Jusuf, selama ini belum ada Menteri yang berani nginap di Aceh” saya bilang ke dia “kalau begitu saya Menteri yang pertama menginap,” saya tanya dia, ” di mana daerah yang paling rawan ?” dia jawab “di Lhokseumawe Pak” maka saya pergi menginap di sana. 

Malamnya tidak ada apa-apa, bahkan pada subuh hari saya pergi ke masjid untuk shalat. Karena itu saya ditegur “kenapa Bapak berani pergi jalan subuh?” saya bilang ke orang yang menegur saya, “saya kan pergi sembahyang, tidak mungkin itu GAM mau tembak orang yang pergi sembahyang”. 

Jadi memang untuk mendamaikan itu kita harus tahu karakter masing-masing. "Saya paham betul karakter orang Aceh, hampir sama dengan karakter orang Bugis, maka tidak heran kalau Sultan Ismail yang orang Bugis pernah menjadi Raja di Aceh".

Sebenarnya perdamaian Aceh sudah lama saya upayakan sekitar 2-3 tahun sebelum perjanjian Helsinky ditandangani. 

Satu minggu setelah terjadi Tsunami, saya berpikir kita tidak mungkin bisa membangun Aceh ini secara lebih cepat dan lebih baik sebelum kedamaian tercipta. 

Maka dari itu saya mengusulkan agar proses perdamaian dimulai lagi. waktu itu saya banyak mendapat kritik, banyak yang sangsi. Bahkan banyak yang tidak mau bertanggung jawab. saya jalan sendiri sebagai wapres saat itu, tapi tentunya saya meminta izin secara lisan kepada Presiden. 

Kalau mau meneliti seluruh dokumen perdamaian Aceh, tidak ada orang lain yang bertanda tangan di situ selain saya. Mulai dari SK saudara HAMID, FARID, dan SOFYAN itu ditanda tangani oleh saya. 


"Bahkan di Sekretariat Partai Aceh (PA), ada tanda tangan saya terpajang di situ sebagai orang yang mensetujui berdirinya Partai Aceh. Tidak ada yang berani tanda tangan dokumen waktu perdamaian Aceh, karena takut gagal. Dan memang kalau perdamian Aceh gagal saya yang akan jadi korban satu-satunya".

Namun demikian dalam upaya saya mendamaikan Aceh, saya tidak bergerak tanpa kordinasi. Setiap tindakan saya, selalu saya laporkan kepada Bapak Presiden. Dan setiap saya melapor beliau hanya mengangguk angguk saja, semua dia iya-kan, meski tidak pernah kasih arahan. sebenarnya ada bagusnya juga.

Nah untuk mendamaikan Aceh, saya berupaya mencari tempat perundingan yang netral. Saya tidak mau berunding di Swedia, sebab kalau itu saya lakukan berarti saya gagal dan merendahkan martabat bangsa. 

Saya juga tidak mau di Jakarta, saya takut kejadian sebelumnya terulang, ketika GAM lagi berunding dengan Pemerintah mereka ditangkap. Waktu itu saya marah besar saya bilang “itu cara-cara Kompeni yang seperti itu”. Dalam upaya saya bertemu dengan para pimpinan GAM saya sering ditolak untuk ketemu. Tapi dengan usaha yang gigih saya tetap berusaha, sebelum pada akhirnya perjanjian Helsinky ditanda tangani.

Sebenarnya waktu proses damai itu saya agak main akal-akalan sedikit. Setelah perjanjian ditanda tangani, teman-teman kita dari GAM minta didampingi oleh pihak yang netral. Maka saya minta pak Ahtisary untuk itu. Sebelumnya memang saya tidak pernah ketemu dengan beliau hanya sering telpon-telponan. 

Waktu saya minta beliau menjadi penengah beliau setuju dan meminta mandat secara tertulis. Untuk itu saya kirimkan dia sms yang isinya berupa mandat dari pemerintah Indonesia kepada Ahtisary untuk menjadi mediator pada perdamaian Aceh. 

Waktu itu pak Ahtisary sempat protes kenapa mandatnya berupa sms. Secara bercanda saya bilang ke dia, Bapak kan minta mandat tertulis, dan sms itu kan tertulis. dia jawab Iyah tapi bukan yang seperti ini. Dan saya bilang ke dia, itu soft copynya nanti hardcopy saya fax besok pagi karena ini sudah malam.

Jadi seperti itulah sisi lain dari proses damai Aceh, banyak pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari situ. Padahal sewaktu damai belum terwujud disuruh “teken” dia tidak mau. Pada saat Aceh sudah damai, lalu berusaha untuk dapat Nobel. Meski pada akhirnya tidak dapat, karena memang susah untuk mendapatkannya. 

Saya sendiri sama sekali tidak menginginkan Nobel bagi saya hadiah Nobel dari Allah SWT itu yang utama. Kebahagiaan bagi saya ketika datang ke Aceh pada malam hari dan orang masih bisa santai di warung kopi tanpa ada rasa takut lagi. Dan yang terakhir saya menceritakan ini, agar tidak terjadi pengaburan sejarah, karena saya lihat hal ini sudah ada yang mau pelintir.(*)
Sepenggal Cerita JK tentang Damai Aceh Sepenggal Cerita JK tentang Damai Aceh Reviewed by Sumadi Arsyah on 05:51 Rating: 5